Tentang peranan perempuan dalam perkembangan seni-budaya di Indonesia, ia mengatakan bahwa peranan perempuan bagi perkembangan seni-budaya Indonesia
sesungguhnya strategis dan tidak dapat dianggap remeh. Menurutnya, di belakang para tokoh senibudaya, ada peran perempuan sebagai pendamping yang memberi dukungan bahkan dijadikan objek inspirasi. Seiring semakin berkembangnya emansipasi, banyak bermunculan tokoh seni budaya dari kalangan perempuan. Ini adalah sebuah kemajuan yang harus diviralkan kepada perempuan-perempuan lainnya, sebab dalam seni-budaya terkandung makna mendalam yang dapat menjadi sebuah terapi. Sebagai perempuan yang menyandang kata ibu dan berdiri di garda depan untuk mencetak anak-anak yang berperilaku sopan-santun, hormat dan hidup bahagia, seharusnya perempuan mengambil peran dengan menjadikan seni-budaya sebagai konsumsi anak-anaknya karena semua itu bisa didapat dari seni-budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang.
Teramat penting bagi seorang perempuan untuk mengambil peran dalam memahami makna di balik seni-budaya yang sarat dengan filosofi hidup dan
berkehidupan. Problemnya, paham paternalistik di Indonesia masih memojokkan perempuan pada kodratnya sebagai ibu rumah tangga sehingga kreativitas
seni-budaya yang ada pada diri perempuan tidak maksimal untuk dikembangkan. Namun sebagaimana uraian di atas, penyebaran virus seni-budaya jangan
hanya terbatas pada golongan akademisi, melainkan para perempuan yang telah menyandang kata ibu yang dalam kesehariannya bercengkerama dengan anak-anak. Kuatnya komitmen yang dimiliki oleh Halimah untuk perkembangan seni-budaya terbukti dengan difungsikannya sebuah vila di kawasan Mega Mendung,
Puncak, sebagai rumah budaya.
Awalnya ketika sedang ramai pembicaraan masalah kawin kontrak di Puncak, ada seorang teman yang dosen Universitas Indomesia memintanya agar membuat
buku ajar tentang tatanan sosial perempuan Puncak. Ia pun lantas mengadakan riset kecil. Hasil dari riset itu membuka mata hatinya terhadap fakta terjadinya kawin kontrak yang sangat merugikan para remaja perempuan dan tak jarang mereka menjadi korban dari sebuah pemahaman yang salah. Hati kecilnya pun mengatakan pada saat itu yang lebih utama bukanlah membuat buku namun memberi
sebuah solusi, ruang kreativitas tempat anak-anak dapat berkegiatan di waktu luang mereka.
Menurut pendapatnya, dalam situasi seperti itu yang paling tepat adalah pembelajaran seni-budaya. Kebetulan ia memiliki vila di Mega Mendung, maka difungsikanlah vila tersebut sebagai Rumah Budaya HMA. Agak disayangkan, riset
yang semula menjadi titik tolak tindakannya ini sekarang malah mangkrak alias tidak menjadi buku ajar. Dalam perkembangannya, Rumah Budaya HMA juga membuka
diri bagi siapa saja yang ingin mengadakan kegiatan senibudaya tidak hanya bagi mereka yang berada di seputar Puncak melainkan juga dari luar kawasan tersebut.
Mengapa? Agar ada pergerakan ekonomi kreatif yang mandiri dengan membangun beberapa lokasi tempat mereka menginap.
Mengelola sebuah rumah budaya dengan lokasi yang berada di kaki gunung tentunya punya kendala tersendiri. Kendalanya, Rumah Budaya HMA tidak terjangkau kendaraan umum sehingga sulit bagi para peseni dan budayawan untuk datang berkegiatan. Harapannya, ke depannya pemerintah setempat bisa
mendukung dengan akses atau sarana transportasi agar Rumah Budaya HMA yang lokasinya di tengah-tengah pusat wisata Puncak, menjadi sebuah alternatif bagi para
wisatawan berkunjung sebagai tempat wisata budaya.
Ritmanto Saleh