You’ve gotta dance like there’s nobody watching, love like you’ll never be hurt, sing like there’s nobody listening, and live like it’s heaven on earth.
Dalam kehidupan, perempuan selalu diposisikan sebagai peneguh anggapan atau stereotipe bahwa mereka sosok yang lemah dan keindahannya hanya dimiliki atas kuasa kepentingan laki-laki dan ekonomi-politik. Tidak mengherankan karena selama ini belenggu ideologi dan konstruksi masyarakat masih sangat patriarkat.
DALAM kesenian pun hal itu mesti dibenahi, karena seni adalah produk budaya manusia yang hakikatnya
adalah netral gender, baik laki-laki maupun perempuan; memunyai eksistensi yang setara dalam pemenuhan kreasi dan utilitasnya dalam kehidupan bermasyarakat dan budaya.
Dalam kehidupan seni pertunjukan tradisional, perempuan banyak terlibat, baik sebagai peseni aktif atau sebagai
pengelola organisasi pertunjukan. Tetapi kemudian perempuan sering diidentikkan sebagai objek seni dalam
ketakberdayaannya. Bahkan seni pertunjukan tradisional yang seharusnya tidak berpihak pun dilibatkan dalam pemberian cap kepada perempuan yang menderita ketidaksetaraan dan keadilan gender di dalamnya.
Tentu saja hal ini merupakan sebuah ketidakadilan gender dan ketimpangan gender dalam memperoleh hak-hak yang sama baik sebagai peseni maupun sebagai pengelola organisasi seni.
Kesenian merupakan cermin dan refleksi nilai kehidupan sosial masyarakat dalam rekam jejaknya tidak pernah lepas dari sosok perempuan sebagai kreator seni. Karena di balik keberadaannya perempuan menyimpan dan memberi segudang hasrat imaji, gagasan, dan tema untuk diangkat dalam karya seni rupa, Tari, sastra, film, foto, hingga produk-produk budaya di layar kaca yang dan tak jarang memunculkan pro dan kontra. Sebab perempuan atau tubuhnya diilustrasikan sebagai alat/ instrumen hasrat dalam penciptaannya.
Atau tubuhnya ditempatkan sebagai basis dan objek material estetis. Perempuan dicitrakan dengan kecantikan,
lemah-gemulai, seksi, dan sensualnya dalam produk kesenian dari tradisional hingga kontemporer.
Inilah realitas belenggu perempuan dalam kesenian sebagai realitas pandangan dalam masyarakat sepertinya harus diperbaiki. Perempuan sebagai peseni tentu sangat berperan besar sebagai pemeran utama di samping
aktivis-aktivis perempuan, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, atau siapapun yang memunyai kepedulian
terhadap isu perempuan.
Untuk keperluan tersebut mulailah pergerakan perempuan dalam kiprahnya memperjuangkan hak dan juga
mendokumentasikan kiprahnya sebagai peseni, dalam bidang seni rupa, seni sastra, tari, musik, teater, dan
lain lain. Di samping itu juga tentu banyak bermunculan berbagai perkumpulan yang kemudian dijadikan
sebagai media mereka berekspresi. Inilah perempuan bukanlah sebagai sosok yang merdeka, otonom, dan
bebas dari belenggu kepentingan. Bukan sebagai jalinan pengikat relasi sesama perempuan dan sosialnya atas
dasar kesetaraan dan emansipatif. Perempuan dan atau tubuhnya yang liberal. Perempuan atau tubuhnya bukan
merupakan wilayah utama dalam gagasan, proses, dan penciptaan karya.
Selanjutnya adalah sosoknya dalam kesenian muncul, bermakna dan berkekuatan sebagai media estetika penyampai pesan moral, nilai, dan norma pembebasan dari stigma dan ketidakadilan. Dalam kesenian, istilah kreator dari perempuan atau laki-laki itu tidak penting. Yang utama adalah siapapun kreatornya ketika menyajikan karya beresensi perempuan mampu mempresentasikan danmendialogkan makna kehadirannya. Meski begitu seringkali kita melihat perempuan dalam seni hanya dipandangsebagai objek, masih sangat sedikit pembahasan perempuansebagai subjek dalam seni.
Berikut adalah beberapa contoh pergerakan perempuanpeseni di Indonesia, yang memberi dampak positif dalamperkembangan eksistensi perempuan di bidang seni:1. Mulai 2015, Komite Seni Rupa Dewan KesenianJakarta menginisiasi proyek seni perempuan peseni,Wani Ditata Project. Proyek seni ini adalah tanggapanKomite SR-DKJ terhadap perkembangan eni rupa kontemporer Indonesia, bahwa kegiatan seni yang mengarah pada riset dan fokus pada isu tertentu menjadi sangat relevan saat ini. Relevansi
proyek seni ini adalah bagaimana pengembangan kegiatan kesenian dengan durasi tertentu dan mendala-mi satu subjek wacana akan sangat berdampak pada
perkembangan seni rupa kontemporer--di mana
dalam proses kerja sebuah proyek seni terdapat
produksi ilmu pengetahuan yang akan didistribusikan
di akhir proyek. Proyek ini mengundang delapan
perempuan peseni dari Jakarta dan kurator muda
Angga Wijaya sebagai fasilitator dalam mengembangkan
proyek seni ini. Tujuan mengundang perempuan
peseni adalah untuk membaca perkembangan seni
rupa kontemporer di Jakarta, di mana perempuan
peseni juga menjadi pemain utama saat ini. Sekaligus
untuk merangkum
wacana sosial-politik kebudayaan
yang dibaca melalui perempuan.-perempuan peseni
Semoga saja proyek seni ini dapat berkembang dan
berkontribusi bagi perkembangan seni rupa kontemporer
kita.
2. Seperti yang terjadi juga pada kelompok perempuan
peseni Sulawesi Utara. Sejarah asal-usul masyarakat
Minahasa bertutur tentang sosok suci perempuan
bernama Karema. Sebagai pemberi kehidupan,
Karema adalah sosok yang menemukan Lumimuut,
ibu dari suku-suku Minahasa. Sosok-sosok pembaru
dalam sejarah Sulawesi Utara juga didominasi oleh
perempuan-perempuan perkasa. Misalnya, Maria
Walanda Maramis, tokoh emansipasi perempuan
pendiri organisasi Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya
(PIKAT) pada 1907. Ada pula Marie Thomas,
perempuan Minahasa kelahiran 1896, perempuan
dokter pertama yang tercatat dalam sejarah bangsa
Indonesia. Lalu bagaimana dengan perkembangan
para perempuan peseni Sulawesi Utara hari ini?
Dalam rangka Hari Kartini dan Hari Pendidikan
Nasional, NCCL sebagai kolektif kesenian yang
fokus dalam kajian perkembangan budaya di Sulawesi
Utara yang telah mencatat denyut
perkembangan seni dan ruang budaya
mereka.
3. Perempuan Pengaji Seni melihat
bahwa peran dari kelompok-kelompok
perempuan yang hadir sejauh
ini masih seputar penciptaan seni,
seperti kelompok peseni. Seperti yang
dilakukan Shalihah dan kawan-kawan
mencoba mengikuti Puspa Ragam
Pengarsipan di Indonesian Virtual Art
Archive (IVAA) atas nama Perempuan
Pengaji Seni untuk mempelajari riset
model yang dapat digunakan dalam
mengaji seni. Pada 2021, mereka
berusaha melakukan redefinisi dari
kelompok Perempuan Pengaji Seni.
Awalnya sebagai kelompok peneliti
tetapi kini mereka berusaha
untuk
lebih fleksibel yang akhirnya juga
menggunakan pendekatan dengan turut
membuat karya. Selain membuat karya kelompok ini
juga melakukan penelitian, karena membuat karya
juga adalah sebuah penelitian.
4. Di Jakarta ada Jurnal Perempuan dan di Jogja ada
semacam kelompok perempuan yang melakukan penelitian
tentang ruang seni. Konsistensi perempuan
peseni dengan estetika pembebasan ini juga dapat
kita lacak pada sosok Arahmaiani, perupa dari Bandung
pada dasawarsa 1980-an. Beberapa karya seni
rupa baik drawing, lukisan, instalasi, dan performance
art karya dia tak jarang menyinggung atau mengangkat
isu perempuan.
5. Semangat ini juga dapat kita lihat dan cermati di
balik karya sketsa, drawing, dan lukisan perupa Dewi
Chandraningrum. Akademisi, peneliti, sekaligus
aktivis dan pegiat isu perempuan di Solo ini bahkan
seluruh karyanya tak lepas dari guratan persoalan
perempuan dan anak seperti dalam Womb Document
yang dipamerkan di Sangkring Art Space Jogja pada
Maret 2015 atau pada lukisan berserinya 9 Kartini
Kendeng. Ekspresi gugatan karya juga tampak di
setiap performance art karya Luna Dian, seorang
mahasiswi seni rupa Universitas Sebelas Maret.
6. Juga pada karya Di Balik Tudung. Genre estetika pembebasan
juga muncul dalam Tari Brantarara karya
Cahwati yang dipentaskan di Teater Arena Taman
Budaya Jawa Tengah, Solo atau Taman Budaya Surakarta
pada 31 Agustus 2016. Karya tari ini dengan
seting dan latar belakang tari lengger Banyumasan
yang tersebar hingga Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Banjarnegara, dan Purbalingga yang kental dan hidup
dalam belitan budaya patriarkhisme. Koreografer alumnus Institut Seni Indonesia Solo ini melalui
karyanya menafsirkan ide-ide kemandirian dalam diri
perempuan dan ruang geraknya yang tidak terbatas
oleh peranan laki-laki. Perempuan bisa menjadi
pemimpin
bagi laki-laki.
7. Tari NoSheHeOrIt karya Otniel Tasman yang
dipentaskan di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko,
Solo pada 21 September 2016 bahkan meneguhkan
kepribadian dalam tubuh manusia, yaitu simbol
kepribadian laki-laki, perempuan, dan percampuran
atas keduanya. Ketiganya melekat, melengkapi, dan
ini berarti sama, setara, dan adil gender.
8. Merekonstruksi pengalaman dan perlakuan sekaligus
mendekonstrusi
pemahaman masyarakat
dan negara terhadap
perempuan dan tubuhnya
juga terekspresi di ranah
sastra. Ini terungkap dalam
antologi puisi Aku, Perempuan
dan Kata-kata karya
Yacinta Kurniasih terbitan
Yayasan Jurnal Perempuan,
Jakarta 2016, atau pesyair
Fanny Chotimah dengan
Bibit Puisi yang digelar rutin
di arena car free day di
Solo setiap Minggu pagi.
Kerja-kerja kreatif ini juga
dilakukan oleh kelompok
perempuan aktivis Jejer
Wadon di Solo. Melalui
”ibadah” berpuisi, membaca narasi, membaca cerita
pendek, hingga musikalisasi puisi,
9. Bersamaan dengan momen seperti Hari Kartini,
Hari Perempuan Sedunia, 16 Hari Antikekerasan
terhadap Perempuan dan Anak, atau Hari Hak Asasi
Manusia 10 Desember. Kesaksian perempuan peseni
dengan karya berestetika pembebasan merupakan
keharusan.
Sosok yang mendasarkan pada keberpihakan,
keterlibatan yang memerlukan kesabaran,
keuletan, posisi yang sejajar, demokratis, dan konsistensi
sikap.
10. Semangat ini tentu berangkat dari hakikat perempuan
sebagai peseni dan tujuan penciptaan
karya-karyanya, yaitu bekerja untuk menganyam kebenaran,
meniti puncak-puncak kemanusiaan. Seperti
halnya yang dilakukan oleh Lesbumi (Lembaga Seniman
Budayawan Muslimin Indonesia) meskipun
tidak fokus pada persoalan perempuan. Tetapi
setidaknya perempuan menjadi bagian dari organisasi
ini karena hakikatnya merupakan organisasi
kebudayaan. Lesbumi menghimpun berbagai macam
artis: pelukis, bintang film, pemain pentas, dan
pesastra. Lembaga ini juga beranggotakan ulama
yang memiliki latar belakang seni cukup baik. Sejak
menarik diri dari partai Masyumi 1952, NU terus
berupaya memodernisasi
dirinya. Di awal penarikan
diri, NU telah memiliki bagian-bagian dan badan
otonom yang mencerminkan perhatianya pada masalah-
masalah tertentu: pendidikan, dakwah, sosial,
ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh.
Dalam perkembangan selanjutnya, bagian-bagian dan
badan-badan otonom yang ada di tubuh ormas NU
semakin bertambah seiring meluasnya perhatian
pada masalah-masalah lain. Satu di antaranya adalah
Lesbumi yang dibentuk pada 1962
Begitulah beberapa contoh
gerakan perempuan peseni,
perempuan yang memunyai
peran ganda sebagai ibu, istri,
juga sebagai pekerja dan
peseni. Seorang peseni yang
notabene adalah orang merdeka
yang semestinya melihat
kebenaran dengan spirit yang
bebas, dengan kesenian dan
estetika pembebasan agar
bisa memberikan rambu-rambu,
dan kesadaran-kesadaran
baru. Dinamika perempuan
peseni dengan gerakan ke
arah pembongkaran, dengan
segala persoalannya itu, bisa
kita lihat, baca, dan cermati kemunculannya
pada era seni kontemporer sekarang ini.
Seni tak lagi terpaku sebagai karya dan harus seni untuk
seni, dan eksklusif, tetapi seni yang menjelma sebagai
media penyadaran, pembebasan. Seni menjadi media
untuk belajar memahami kontradiksi sosial-politik
dan ekonomi dan mengambil tindakan untuk melawan
unsur-unsur yang menindas (Paulo Freire, ‘Pendidikan
Kaum Tertindas’, 1985). Seni tak lagi dilandaskan pada
estetika semata, tetapi lebih pada esensi dan tujuan
diciptakannya karya. Geliatnya tidak hanya hadir di ruang-
ruang pertunjukan atau ruang pameran, tetapi juga
di ruang-ruang publik, menyertai dan menjadi bagian
dari acara formal/ informal berupa diskusi, obrolan,
hingga aksi-aksi protes. Seni tak lagi berjarak dengan
masyarakat sehingga merasa ikut terlibat baik psikis
atau fisik ke dalam inti karya.
Rini Intama - Berbagai sumber
Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini