Kau tertawa, lalu mulai menganalisis dengan detil siapa yang berada di balik peristiwa-peristiwa hangat terkini. Juga tentang “penistaan”. Ah, di sana kutangkap ada unsur subjektivitas yang masuk, kau mulai melenceng dari bagian kisah objektifnya, dan ketika itu kusinggung, kau berkata, “Ya iyalah, pilihan kita ‘kan berbeda, wajar dong kalau aku berpihak pada idolaku!” Aku bergeming. Kemudian kutanyakan padamu, “Termasuk pencucian otak kalau bumi ini datar?” Kau tertawa lalu berkata, “Sepertinya aku mulai meyakini itu. Aku akan mengumpulkan dana untuk pergi ke Kutub Utara, mencari tahu, apa yang ada di balik kutub itu, apakah ada jeram yang curam yang dalamnya hingga ke dasar bumi.” “Ya sudah, nyemplung saja kau sekalian!” jawabku gusar. Lalu kau terkekeh, ketika kauhendak memelukku, aku menolak halus, apalagi saat kauhendak menciumku, kutolak lebih keras lagi. Katamu, “Mengapa May? Bukankah kita saling mencintai?” Jawabku singkat, “Ludahku haram!” Kemudian wajahmu berubah serius, kau menatapku
dalam-dalam. Aku sudah menduga apa yang akan kaukatakan, itu berkaitan dengan topik sekuler atau nonsekuler. Ah, sebenarnya aku bosan. Pemikiran sederhanaku adalah, mengapa hidup yang hanya singkat ini, selalu dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran rumit seperti itu. Tidakkah akan lebih baik jika kau memikirkan masa yang akan datang? Misalnya, jika kita menikah kelak, bagaimana caranya kita bisa hidup mapan, kau bekerja di perusahaan yang bagus, punya gaji tetap (bukan out sourching) yang cukup untuk beragam biaya masa depan anak-anak kita kelak, bisa untuk tabungan masa tua agar jika kita manula, kita tidak dimasukkan ke rumah jompo oleh anak-anak kita (siapa tahu), atau kita punya asuransi yang bisa menutupi biaya berobat, pendidikan, dan hidup tenang serta damai di hari tua. Ketika itu kusampaikan, sudut bibirmu tertekuk ke bawah, itu memberikan gambaran kalau kau mendengar ucapanku dengan sinis. Kau mengucak-ucak kepalaku, ini acap kaulakukan jika argumen-argumen yang kulontarkan terdengar “bodoh” di telingamu. Lalu kaumulai berbicara penuh kalimat beranak dan bercucu, kalimat-kalimat itu kutahu kaukutip dari tulisan seorang sastrawan asal NTT yang enggan kusebut namanya, takut kau tersinggung. Katamu, “Maya sayang, dengar ya, setiap orang ingin menyatukan diri dengan dunia yaitu alam dan manusia, tetapi itu tidak mungkin. Ada lebih-kurang 30 juta orang miskin dan menderita, hidup dalam kondisi primitif di negeri ini, ada pula babu-babu yang terasing di padang pasir dan liang-liang melayang di gedung bertingkat di dalam dan luar negeri. Setan yang bernama urbanisasi makin merajalela di negeri subur ini. Di mana-mana orang menanam batu sehingga lahan untuk menanam padi, jagung, kacang, sayuran, dan buah-buahan serta rumput untuk ternak,
hilang setiap tahun. Manusia berjejal di kota-kota, sehingga kereta listrik menarik penumpang dengan penuh sesak. Dulu ketika gubernur belum diganti, bantaran kali dipenuhi gubuk-gubuk untuk manusia dan sampah, banyak di antara mereka hidup dari mengais sampah, itulah pemulung yang tergulung oleh urbanisasi. Orang miskin dan penganggur tetap gentayangan dalam keterasingan. Hubungan mesra atau hubungan antarpersonal, antara pemerintah dan rakyat dulu tidak terjadi. Sulit untuk direalisasikan filosofi yang berbunyi, ‘aku adalah engkau’. Yang tampak hanyalah hubungan antarmanipulatif. Keinginan atau kerinduan yang begitu besar terkendala. Marilah kita berdoa agar perbuatan bunuh diri secara massal akibat kemiskinan tidak terjadi. Hal ini bukan klise lho, tetapi nyata. Nah semua itu agar apa yang disebut mekanisme pelatuk bisa efektif, dapat mengubah struktur birokrasi dan kebijaksanaan, dapat menggerakkan hati nurani pemimpin dan pemikir. Kau mengerti apa yang kumaksud?” tanyanya. Seperti biasa, kau selalu memosisikan diri sebagai dosen dan aku mahasiswimu yang bodoh dan tak mengerti apa-apa. Ucapan-ucapanmu kadang ‘nyambung’ kadang hanya asal ucap, aku tahu itu. “Jangan menatapku seperti itu!” kataku dengan dengus napas gusar. “Mengapa? Setelah pacaran lima tahun denganku, kau kok tak bertambah pintar?” selidiknya. l Ilustrasi: Agoes Noor “Sialan kau, memangnya kau dosenku?” sungutku. Kau tertawa terbahak-bahak. Lalu katanya, “Ke sini sayang, aku rindu padamu, aku rindu ciumanmu!” “Ludahku haram!” ucapku lagi dengan nada sinis. “Aku tak peduli, Yang haram itu sudah lima tahun kukecap!” lalu kau memelukku. Ah, kau yang berwajah tampan, mirip bintang film India Arjun Rampal, selalu membuatku tak berdaya. Kau seperti cenayang tampan yang memiliki magnet kuat sehingga aku selalu luluh bila ada di dekatmu. Dan lima tahun kedekatan kita, kau selalu membuatku membatalkan ucapan yang ada di ujung lidah, ucapan yang juga tanya, kapan kau menikahiku?
*** Minggu terakhir bulan November, tatkala hujan mengucur tajam jatuh di genting rumahku, kau datang ke rumah dengan sekumpulan berkas yang kautaruh di dalam kantung plastik dengan rapi. “Ini berkas-berkas rahasia,” katamu. “Aku akan menjadi saksi,” lanjutmu. Lalu kembali kau mengutip kalimat- kalimat dari buku tulisan sastrawan asal NTT itu, “Aku memimpikan kota kecil dengan budaya, pariwisata dan ekonomi kreatif ada di dalamnya. Lalu di kota itu tidak ada kekerasan, yang ada adalah jalan tengah, jalan untuk menghadapi kendala absur dalam kehidupan ini. Penganggur dan orang miskin terlalu banyak di negeri ini. Aku ingin seluruh pengikut agama yang ada di negeri ini bersatu dengan penuh kasih-sayang, mereka harus bersatu menggarap tanah subur dan laut kaya yang ada di negara ini untuk kesejahteraan manusia Indonesia. Di sinilah tempat lahir kita, tempat berlindung di hari tua.” Katamu dengan serius bak seorang pujangga amatiran. Nah, di ucapanmu yang ini, aku melihat kau tampak seperti manusia ‘normal’ lainnya. “Lalu, kau mau menjadi saksi untuk perkara apa?” tanyaku. “Saksi tentang kasus penistaan agama,” jawabmu. “Apa? Kau sudah gila, ya!” “Dengar Maya, kalau aku tidak bersaksi, maka kasus ini akan berlarut-larut. Kau mau negara ini seperti di Syria sana?” Aku makin tak mengerti ke mana arah ucapannya. “Memangnya kau berada di tempat kejadian?” cecarku. Kau menggelengkan kepala. Hmm…ini tidak benar. Kekasihku bisa menjadi saksi palsu. Lalu kurampas berkas yang ada di tangannya, kubuka dengan paksa. Di dalamnya ada portofolio tentang orang lain, ada akte kelahiran, ada surat rekomendasi pernah bekerja. Lalu ada foto. “Hei…apa-apaan ini? Ini semua bukan punyamu. Lalu kau mau menjadi saksi untuk sebuah perkara? Apa maksudmu?’ Tanyaku. “Sabar Maya, nanti jika aku sudah menjadi anggota di gedung bertopi bulat itu, kau akan menjadi nyonya agung yang dihormati banyak orang.” Begitu selalu katamu. “Lebih baik kau pulang kampung, jadi petani dan kita hidup bertani membesarkan anak-anak kita. Aku tak mau kau menjadi anggota di sana,” kataku. “Lho mengapa? Kau tak mau punya uang banyak?” “Tidak! Aku takut mati dengan sumpah serapah manusia yang benci pada orang-orang di gedung bertopi bundar itu.” “Maya sayang, tak semua dari mereka itu jahat. Jika aku di sana, kujamin aku bagian dari orang yang baik itu. Percayalah.” Rayumu. Dan matanya yang indah bak mata rajawali tangguh itu, selalu membuatku luluh. Ah…
Kau membisu beberapa saat. “Ayo jawab!” Kemudian dengan suara serak kau berkata, “Maya sayang, semua itu memang palsu. Aku mengaku pernah bekerja di Fifi Pizza, padahal tidak. Semua kulakukan karena aku memperoleh bayaran. Kau tahu ‘kan, aku tak pernah memunyai uang berlebih untuk membiayai pernikahan kita. Jika mereka membayarku, uang itu akan kugunakan untuk meminangmu. Tak apa ‘kan kalau aku menjadi saksi palsu?” Ya, ini baru namanya absur. “Kau memang telah terjangkit pernyataan Nietsche tentang absurditas. Kau harusnya tahu bahwa di dalam menjalani hidup ini manusia pasti menemukan kendala kontradiksi dan kemustahilan. Sikapmu sudah mendorongamu untuk bertingkah laku ke sudut yang paling ekstrem, kau ingin moralitas yang adalah aspek utama Tuhan harus dihancurkan. Dengan memalsukan semuanya, sungguh aku malu bila menjadi istrimu,” cerocosku. Kali ini kau benar-benar diam membisu agak lama. Kau pastinya terkesima bahwa ‘si tolol’ ini, bisa berkata seperti itu. Hei kekasih, tidak tahukah kau, bahwa selama ini aku enggan berdebat dengan argumen- argumen konyolmu yang bagiku sia-sia. Hidup tak hanya diisi dengan argumen, namun harus diisi dengan kerja dalam menghadapi realitas yang nyata. “Dengar sayang, bila kau hanya pandai bercuap-cuap, lalu memetik ungkapan-ungkapan filsafat dan ikut gerombolan organisasi penghujat di sana-sini, apa yang akan kaudapatkan? Bakar semua file-file palsu itu. Aku tak mau menerima uang lamaran dari hasil kolaborasi dan konspirasi untuk menjatuhkan orang tak bersalah. Jika kau mau menjadi suamiku, ayo kembali ke kampung halamanku, di sana tanah warisan ayahku masih luas, kau bisa menggarapnya, tak perlu kau membayar belis atau mas nikah yang ada di sukuku. Cukup kau menjadi sosok yang rajin dan kreatif. Itu saja!” Beberapa bulan ke depan, mungkin kisah ini akan kututup. Aku akan menikah dengan si ‘kekasih’ yang dulunya sangat tergila-gila pada politik praktis itu. Kali ini, uang lamaran yang ia serahkan bukan dari hasil rekayasa menjadi saksi palsu, namun ia memperolehnya dari hasil jual sapi miliknya yang dipelihara oleh pembantu ayahnya di kampungnya, Soe, nun jauh di NTT sana. Di hari pernikahanku, aku akan mengenakan pakaian adat Rote, kampung asalku, di ujung selatan NTT, lengkap dengan habas (hiasan emas di leherku dan sirih pinang yang terletak di atas nampan tembaga milik nenekku. Dan, lupakan sejenak tentang iruk-pikuk Jakarta. Berita tentang pernikahanku yang mungkin ada di beberapa surat kabar daerah, sungguh itu bukan hoaks…
TENTANG FANNY J POYK Fanny lahir di Bima pada 18 November dari pasangan Gerson Poyk dan Agustina Antoneta Saba. Lulusan IISIP Jakarta jurusan jurnalistik ini mulai menulis sejak 1977. Karya-karyanya berupa cerita anak-anak, remaja, dan dewasa telah dimuat di berbagai media, di antaranya Kompas, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Timor Ekspres, dan lain-lain. Satu di antaranya cerpennya terpilih sebagai 20 cerpen terbaik Kompas dan terpilih sebagai 10 cerpenis terbaik Sabah Literary International Festival. Saat ini dia aktif menulis dan memberikan pelatihan menulis di dalam dan luar negeri.
Redaksi
Saya Halimah Munawir.Halimah atau lebih populer dengan nama panggilan Halimah Munawir ini adalah seorang Penulis, Pebisnis dan Pegiat Seni dan Budaya . yang memiliki kepedulian tinggi kepada dunia literasi , tradisi seni budaya, dan pendidikan.
Ada yang pernah berkata bahwa abad 21 adalah milik perempuan. Pendapat ini tentunya disambut gembira oleh para feminis. Beberapa gejala memang sejak...
Dalam kehidupan, perempuan selalu diposisikan sebagai peneguh anggapan atau stereotipe bahwa mereka sosok yang lemah dan keindahannya hanya dimiliki...
setiap saat aku adalah 20% oksigen yang disumbangkan pohon rindang surga bernama ibu terkadang aku adalah lembayung yang dipantulkan senja kepada...
Edisi Majalah
Edisi 28
Obor Sastra
Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini