Latest Posts

Jl.Basuki Rahmat redaksi@semestaseni.com

Seni dan Rakyat, Selamanya*

Dengan difungsikannya gedung rusak dan miskin sebagai galeri, seni bisa bertemu lagi dengan sahabat lamanya: kaum kebanyakan. Hasrat naluriah peseni untuk bertemu rakyat pun tersampaikan.

Pada beberapa tahun terakhir sangat banyak peseni yang merasa senang dan nyaman menggelar karyanya di sembarang
tempat. Bahkan di gedung bobrok sampai di rumah dusun sejumlah desa.

Di Jalan Gereja Theresia, Jakarta ada Balai Budaya. Gedung kebudayaan bersejarah yang sudah tirus dan lusuh karena
luput diurus oleh negara--sementara swasta yang ingin mengurus selalu mendapat kendala. Atap gedung itu bocor, plafonnya bengkah dan lantainya pecah-pecah. Namun para peseni “memaksa” menerobos masuk dan menggunakannya.
Di Jalan Dalem Kaum, Bandung, ada bangunan besar bekas gedung bioskop Dian. Karena sengketa, gedung legendaris ini
dibiarkan mangkrak dengan seram. Para peseni berinisiatif memanfaatkannya. Dalam suasana ruang yang cenderung
gelap, dengan atap bolong-bolong serta lantai yang menghitam, beragam acara seni digelar setiap bulan.

Di Banyuwangi ada Komunitas Satusama. Kelompok seni yang digerakkan N Kojin, Ben Hendro, dan lain-lain ini menggelar
karya seni rupa di berbagai tempat yang sangat tidak biasa untuk pameran. Komunitas Satusama ngelayap dan
menelusuk ke berbagai kampung dan dusun di Kabupaten Banyuwangi. Dari Dusun Curahkrakal di Desa Tambakrejo
Muncar, sampai Dusun Tegal Yasan di desa Tegal Arum–Sempu. Karya mereka dipajang di dinding sekolah sangat sederhana,
didisplai dekat kandang kambing, dipertunjukkan di pinggir ladang yang dihiasi bebek dan ayam yang berkeliaran.

Di Ubud, Lampung, sampai Padang banyak rumah atau studio peseni di tengah kampung dan di ujung desa dijadikan
art space. Sebagian malah berada di jalan kecil yang hanya bisa dilewati pejalan kaki dan sepeda motor saja. Sementara
perangkat pergelaran seni yang ada juga serba ala kadarnya. Seni di rumah rakyat

Mengapa mereka melakukan kerja seni di tempat relatif rudin begitu? Apa yang mereka dapat dari pergelaran di
ruang-ruang lata dan terpinggirkan seperti itu? Peseni Syahnagra yang mengelola “Balai Budaya lusuh” memberikan
alasan: “Ini gedung milik para seniman dan budayawan. Bagaimana pun bobroknya, gedung ini kepunyaan kami.
Sehingga kami berhak meruwat, merawat dan mengisi!”

Yang tak terduga, suasana darurat ini menjadikan Balai Budaya punya atmosfer yang lebih egaliter. Kini rakyat sebelah
mana pun merasa bebas masuk, meski mereka merasa bukan bagian dari masyarakat peseni. Pameran seni rupa
mereka nikmati. Pembacaan puisi dan pentas musik disimak. Pemajangan kitab-kitab sastra diapresiasi. “Realitas rakyat ini
selaras dengan naluri kami,” kata sejumlah pengelola Balai Budaya.

Pameran dibekas gedung bioskop Dian yang sudah bobrok. Tisna Sanjaya, pemancang bendera seni di bioskop Dian berargumen: “Banyak pihak tidak memahami bahwa kebudayaan dan kesenian itu selalu memerlukan tempat menghadirkan
eksistensinya. Itu sebabnya kami memanfaatkan gedung ringsek itu jadi rumah budaya.”

Tisna mengatakan bahwa dengan difungsikannya gedung rusak dan miskin sebagai galeri, seni bisa
bertemu lagi dengan sahabat lamanya: kaum kebanyakan. Siapapun--dari pelayan
warung, pengamen sampai petugas gojek--tidak sungkan untuk melongok dan mencermati karya seni.

Lantaran kelompok rakyat itu merasa memasuki rumahnya sendiri. Maka hasrat naluriah peseni untuk bertemu dengan
rakyat, tersampaikan. Sementara Komunitas Satusama mengatakan, “Dalam situasi tertentu, naluri seniman kembali ke paling dasar. Yakni mendekatkan seni rupa kepada lingkup terdekat, kepada rakyat. Karena itu seniman berinisiatif masuk ke desa dan kampung, tanpa harus menunggu ada yang menampung.” Hal yang sama juga dirasakan oleh para peseni di pinggiran kota di luar Jawa. Mereka bersikap, ketika gedung seni formal yang megah-megah itu menghambat pergerakan, rumah di desa bisa digunakan. Sementara dengan unjuk seni di kampung, naluri peseni yang selalu ingin dekat dengan rakyat semakin memperoleh jalan. Selalu menyatu Upaya mutakhir para peseni untuk berdekat-dekat dengan rakyat menarik dikaji sebagai fenomena.

Walaupun sesungguhnya hasrat naluriah lekat-rakyat seperti itu sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Sehingga akhirnya melahirkan kategorisasi, yang pilahannya diberangkatkan dari konsepsi, pikiran dan tujuan peseni (sebagai rakyat) ketika menangkap penikmatnya (yang tak lain adalah rakyat).

Ragam kategori itu adalah ini: “Seni dari rakyat”-“Seni merakyat”-“
Seni tentang rakyat”-Seni pembela rakyat”-“Seni
suara rakyat”, dan “Seni untuk rakyat”.
Tentu saja yang dimaksud dengan rakyat di sini adalah rakyat
yang strata sosialnya di bawah kelas menengah. Atau rakyat
jelata, atau rakyat berekonomi rendah, yang jumlahnya sekitar
79 persen dari 270 juta penduduk Indonesia (Laporan
Bank Dunia, 2022). Elaborasi kategori itu demikian.
“Seni dari rakyat” adalah karya-karya seni yang diciptakan
oleh para pekerja seni yang lahir di kalangan rakyat.

Sebagian dari karya seni ini tumbuh dari tradisi turun-temurun,
sehingga gubahannya disebut sebagai seni tradisional.
Seni kain songket dari Pesawaran-Lampung, patung kayu dari
Asmat adalah contohnya. Begitu juga lukisan girlan (pinggir
jalan) yang diproduksi oleh para perajin di Tasikmalaya dan
Desa Jelekong di Bandung. Seni mocopatan, lenong, dan Srimulat
merupakan amsal untuk seni pertunjukan. Termasuk
ludruk, yang juga menjadi media katarsis jagat rakyat.
Seni ciptaan mereka cenderung untuk dinikmati oleh
“kalangan sendiri”. Sebuah praktik yang kemudian dirumuskan
oleh filsuf George Santayana dalam buku The Sense of
Beauty sebagai: estetika spesifik yang nilainya diperuntukkan
bagi orang-orang di seputaran. Walau pada gilirannya “seni
dari rakyat” menjangkau horizon apresiasi meluas.


“Seni merakyat” bisa diartikan sebagai seni yang dalam
objek, tema, dan gaya merujuk kepada tingkat pemahaman
dan kemauan rakyat. Konsepsi ini pernah dianjurkan oleh
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sementara anjuran
Lekra itu merujuk kepada konsepsi kesenian neoklasik
Rusia, seni revolusioner rakyat Tiongkok, dan seni sosial
Meksiko, yang digerakkan novelis Martin Luis Guzman dan
perupa Diego Rivera.


Prinsipnya, hasil karya peseni semua aspeknya diharapkan
memiliki kedekatan dengan rakyat. Oleh karena itu, apabila
bahasa penyajian seni yang paling diakrabi rakyat adalah
bahasa realis, maka karya seni bercorak itulah yang menjadi
andalan kategori “seni merakyat”. Pelukis Dullah, maestro
poster S Tutur adalah orang yang paling percaya konsepsi
ini. Teater Keliling pimpinan Rudolf Puspa adalah contoh
pentas modern yang merakyat. Yang tak boleh hilang dari
ingatan, seni kerakyatan seperti ini acap menjadi alat sosial,
bahkan alat politik. Misalnya untuk memberikan penyadaran
lingkungan hidup, atau mempropagandakan ideologi politik.


“Seni tentang rakyat” adalah seni yang secara tematik
melukiskan sisi-sisi kehidupan rakyat. Walaupun dalam
presentasinya bisa jauh dari pemahaman mata rakyat. Seni
jenis ini umumnya hadir sebagai dokumentasi sosial yang
menurut filsuf Dick Hartoko–pada waktunya akan dibaca
sebagai tanda-tanda zaman.
Novel Ahmad Tohari, Eka Kurniawan, dan drama Teater
Koma menyimpan kuat konten ini. Dalam seni rupa kita
menemukan dalam lukisan Sudjana Kerton, Affandi, Jeihan, S
Yadi K, dan banyak lagi.


“Seni pembela rakyat” adalah seni yang bermuatan
membela kehidupan rakyat. Seni ini muncul karena disulut
oleh kenyataan bahwa rakyat memang perlu dibela, baik
dalam saat tertentu, atau dalam sepanjang waktu. Konsepsi
seni ini bisa dihubungkan dengan kredo Pablo Picasso: “Seni
rupa adalah alat untuk membela diri”. Sehingga ketika peseni
(sebagai rakyat) menggubah karya yang membela rakyat,
sesungguhnya ia sedang membela dirinya sendiri.


Di Indonesia seni yang membela rakyat terbaca dalam
berbagai puisi WS Rendra dan pentas Bengkel Teater-nya.
Begitu juga musik dan lagu gubahan Iwan Fals. Dalam seni
rupa terlihat dalam lukisan Hendra Gunawan, Djoko Pekik
sampai Dede Eri Supria. Karya instalasi FX Harsono yang
menyuarakan antidiskriminasi termasuk dalam kategori ini.
“Seni suara hati rakyat” adalah seni yang dikreasi
sebagai corong hati nurani rakyat. Umumnya karya-karya
jenis ini lahir dengan momental, lantaran dikonsep untuk
menghadirkan isu-isu aktual. Karena isu-isu aktual itu
umumnya mengandung masalah yang perlu dicarikan solusi,
maka seni yang tercipta bersifat anjuran, permintaan, protes,
bahkan provokasi terhadap pihak tertentu untuk membenahi
masalah.


Dalam puisi yang berjudul Sebatang Lisong, WS Rendra
menulis: “Apakah artinya berkesenian bila terpisah dari
derita lingkungan?” Berkesenian dengan tidak terpisah dari
lingkungan rakyat itu, menurut sang pesyair, akan menghasilkan
seni yang menyuarakan hati rakyat. Presiden Sukarno
mempredikati ini sebagai “seni penyambung lidah rakyat”.
Presentasi dari seni ini, meski bersuara rakyat, tidak harus
mengacu atau mendekat kepada kemampuan apresiasi seni
rakyat. Bisa saja presentasinya yang malah membingungkan
rakyat. Karena arah dari penciptaan karya ini bukan untuk
rakyat, namun untuk mereka yang memimpin dan punya
tanggung jawab atas pengelolaan kesejahteraan nasib rakyat.
Para pemimpin atau penanggung jawab ini diyakini memiliki
banyak kelebihan dalam mengapresiasi seni dibanding rakyat.
Di Indonesia seni rupa jenis ini banyak muncul dalam bentuk
poster. Juga dalam sejumlah gubahan seni rupa kelompok
Taring Padi.


“Seni untuk rakyat” didefinisikan sebagai konsepsi kesenian
yang mengarahkan “komoditas” produk seninya untuk
membantu kehidupan rakyat. Lantaran mengacu kepada
komoditas, maka bentuk seni yang diciptakan belum tentu
atau bahkan bisa sama sekali tidak merefleksikan soal-soal
rakyat atau urusan rakyat. Umumnya karya-karya seni yang
demikian berhubungan dengan peristiwa pameran momental
yang berkait dengan charity atau aktivitas amal.


Sering kali kita dengar ada pementasan musik bebas yang
hasil penjualan tiketnya disumbangkan untuk rakyat yang
kesusahan. Sejumlah peristiwa seni rupa juga menegaskan
kategori itu. Misalnya pameran bertajuk Sehat itu Indah, yang
menyerahkan hasilnya penjualannya untuk para pasien miskin
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dalam
pameran itu nyaris tak ada karya rupa yang menggambarkan
orang sakit, obat, jarum suntik, dokter atau suster.
Ujung kalam, dengan berbagai problem dan dinamikanya,
seni Indonesia dan rakyat Indonesia tampak selalu menyatu.
Agaknya memang akan selalu begitu, seperti yang diperkatakan
oleh budayawan dahulu kala: ars et vulgares in aeternum.
Seni dan rakyat, selamanya.


* Disarikan dari KOMPAS.ID - Minggu, 15 Januari 2023
**Penulis adalah Kritikus Seni; Penulis Buku-buku Budaya
dan Seni; Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana
Presiden Republik Indonesia.

Redaksi

Saya Halimah Munawir.Halimah atau lebih populer dengan nama panggilan Halimah Munawir ini adalah seorang Penulis, Pebisnis dan Pegiat Seni dan Budaya . yang memiliki kepedulian tinggi kepada dunia literasi , tradisi seni budaya, dan pendidikan.

Obor Sastra

Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini

Obor Sastra

Sastra

Living

Entertainment