Latest Posts

Jl.Basuki Rahmat redaksi@semestaseni.com

Katamu

Kau tertawa, lalu mulai menganalisis dengan detil
siapa yang berada di balik peristiwa-peristiwa hangat
terkini. Juga tentang “penistaan”. Ah, di sana kutangkap
ada unsur subjektivitas yang masuk, kau mulai
melenceng dari bagian kisah objektifnya, dan ketika
itu kusinggung, kau berkata, “Ya iyalah, pilihan kita
‘kan berbeda, wajar dong kalau aku berpihak pada
idolaku!”
Aku bergeming. Kemudian kutanyakan padamu,
“Termasuk pencucian otak kalau bumi ini datar?”
Kau tertawa lalu berkata, “Sepertinya aku mulai
meyakini itu. Aku akan mengumpulkan dana untuk
pergi ke Kutub Utara, mencari tahu, apa yang ada di
balik kutub itu, apakah ada jeram yang curam yang
dalamnya hingga ke dasar bumi.”
“Ya sudah, nyemplung saja kau sekalian!” jawabku
gusar.
Lalu kau terkekeh, ketika kauhendak memelukku, aku
menolak halus, apalagi saat kauhendak menciumku,
kutolak lebih keras lagi. Katamu, “Mengapa May?
Bukankah kita saling mencintai?”
Jawabku singkat, “Ludahku haram!”
Kemudian wajahmu berubah serius, kau menatapku
dalam-dalam. Aku sudah menduga apa yang akan
kaukatakan, itu berkaitan dengan topik sekuler atau
nonsekuler. Ah, sebenarnya aku bosan. Pemikiran
sederhanaku adalah, mengapa hidup yang hanya
singkat ini, selalu dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran
rumit seperti itu. Tidakkah akan lebih baik jika
kau memikirkan masa yang akan datang? Misalnya,
jika kita menikah kelak, bagaimana caranya kita bisa
hidup mapan, kau bekerja di perusahaan yang bagus,
punya gaji tetap (bukan out sourching) yang cukup
untuk beragam biaya masa depan anak-anak kita
kelak, bisa untuk tabungan masa tua agar jika kita
manula, kita tidak dimasukkan ke rumah jompo oleh
anak-anak kita (siapa tahu), atau kita punya asuransi
yang bisa menutupi biaya berobat, pendidikan, dan
hidup tenang serta damai di hari tua.
Ketika itu kusampaikan, sudut bibirmu tertekuk ke
bawah, itu memberikan gambaran kalau kau mendengar
ucapanku dengan sinis. Kau mengucak-ucak
kepalaku, ini acap kaulakukan jika argumen-argumen
yang kulontarkan terdengar “bodoh” di telingamu.
Lalu kaumulai berbicara penuh kalimat beranak dan
bercucu, kalimat-kalimat itu kutahu kaukutip dari
tulisan seorang sastrawan asal NTT yang enggan
kusebut namanya, takut kau tersinggung. Katamu,
“Maya sayang, dengar ya, setiap orang ingin menyatukan
diri dengan dunia yaitu alam dan manusia, tetapi
itu tidak mungkin. Ada lebih-kurang 30 juta orang
miskin dan menderita, hidup dalam kondisi primitif
di negeri ini, ada pula babu-babu yang terasing di
padang pasir dan liang-liang melayang di gedung
bertingkat di dalam dan luar negeri. Setan yang
bernama urbanisasi makin merajalela di negeri subur
ini. Di mana-mana orang menanam batu sehingga
lahan untuk menanam padi, jagung, kacang, sayuran,
dan buah-buahan serta rumput untuk ternak,
hilang setiap tahun. Manusia berjejal di kota-kota,
sehingga kereta listrik menarik penumpang dengan
penuh sesak. Dulu ketika gubernur belum diganti,
bantaran kali dipenuhi gubuk-gubuk untuk manusia
dan sampah, banyak di antara mereka hidup dari
mengais sampah, itulah pemulung yang tergulung
oleh urbanisasi. Orang miskin dan penganggur tetap
gentayangan dalam keterasingan. Hubungan mesra
atau hubungan antarpersonal, antara pemerintah dan
rakyat dulu tidak terjadi. Sulit untuk direalisasikan
filosofi yang berbunyi, ‘aku adalah engkau’.
Yang tampak hanyalah hubungan antarmanipulatif.
Keinginan atau kerinduan yang begitu besar terkendala.
Marilah kita berdoa agar perbuatan bunuh diri
secara massal akibat kemiskinan tidak terjadi. Hal ini
bukan klise lho, tetapi nyata. Nah semua itu agar apa
yang disebut mekanisme pelatuk bisa efektif, dapat
mengubah struktur birokrasi dan kebijaksanaan,
dapat menggerakkan hati nurani pemimpin dan
pemikir. Kau mengerti apa yang kumaksud?” tanyanya.
Seperti biasa, kau selalu memosisikan diri sebagai
dosen dan aku mahasiswimu yang bodoh dan tak
mengerti apa-apa. Ucapan-ucapanmu kadang
‘nyambung’ kadang hanya asal ucap, aku tahu itu.
“Jangan menatapku seperti itu!” kataku dengan dengus
napas gusar.
“Mengapa? Setelah pacaran lima tahun denganku,
kau kok tak bertambah pintar?” selidiknya.
l Ilustrasi: Agoes Noor
“Sialan kau, memangnya kau
dosenku?” sungutku.
Kau tertawa terbahak-bahak.
Lalu katanya, “Ke sini sayang,
aku rindu padamu, aku rindu
ciumanmu!”
“Ludahku haram!” ucapku
lagi
dengan nada sinis.
“Aku tak peduli, Yang haram
itu sudah lima tahun kukecap!”
lalu kau memelukku.
Ah, kau yang berwajah
tampan, mirip bintang film
India Arjun Rampal, selalu
membuatku tak berdaya.
Kau seperti cenayang tampan
yang memiliki magnet
kuat sehingga aku selalu
luluh bila ada di dekatmu.
Dan lima tahun kedekatan
kita, kau selalu membuatku
membatalkan ucapan yang
ada di ujung lidah, ucapan
yang juga tanya, kapan kau
menikahiku?

***
Minggu terakhir bulan November, tatkala hujan
mengucur tajam jatuh di genting rumahku, kau
datang ke rumah dengan sekumpulan berkas yang
kautaruh di dalam kantung plastik dengan rapi. “Ini
berkas-berkas rahasia,” katamu. “Aku akan menjadi
saksi,” lanjutmu. Lalu kembali kau mengutip kalimat-
kalimat dari buku tulisan sastrawan asal NTT itu,
“Aku memimpikan kota kecil dengan budaya, pariwisata
dan ekonomi kreatif ada di dalamnya. Lalu di
kota itu tidak ada kekerasan, yang ada adalah jalan
tengah, jalan untuk menghadapi kendala absur dalam
kehidupan ini. Penganggur dan orang miskin terlalu
banyak di negeri ini. Aku ingin seluruh pengikut
agama yang ada di negeri ini bersatu dengan penuh
kasih-sayang, mereka harus bersatu menggarap tanah
subur dan laut kaya yang ada di negara ini untuk
kesejahteraan manusia Indonesia. Di sinilah tempat
lahir kita, tempat berlindung di hari tua.” Katamu
dengan
serius bak seorang pujangga amatiran.
Nah, di ucapanmu yang ini, aku melihat kau tampak
seperti manusia ‘normal’ lainnya. “Lalu, kau mau menjadi
saksi untuk perkara apa?” tanyaku.
“Saksi tentang kasus penistaan agama,” jawabmu.
“Apa? Kau sudah gila, ya!”
“Dengar Maya, kalau aku tidak bersaksi, maka kasus
ini akan berlarut-larut. Kau mau negara ini seperti di
Syria sana?”
Aku makin tak mengerti ke mana arah ucapannya.
“Memangnya kau berada di tempat kejadian?”
cecarku.
Kau menggelengkan kepala. Hmm…ini tidak benar.
Kekasihku bisa menjadi saksi palsu. Lalu kurampas
berkas yang ada di tangannya, kubuka dengan paksa.
Di dalamnya ada portofolio tentang orang lain, ada
akte kelahiran, ada surat rekomendasi pernah bekerja.
Lalu ada foto. “Hei…apa-apaan ini? Ini semua bukan
punyamu. Lalu kau mau menjadi saksi untuk sebuah
perkara? Apa maksudmu?’ Tanyaku.
“Sabar Maya, nanti jika aku sudah menjadi anggota di
gedung bertopi bulat itu, kau akan menjadi nyonya
agung yang dihormati banyak orang.” Begitu selalu
katamu.
“Lebih baik kau pulang kampung, jadi petani dan kita
hidup bertani membesarkan anak-anak kita. Aku tak
mau kau menjadi anggota di sana,” kataku.
“Lho mengapa? Kau tak mau punya uang banyak?”
“Tidak! Aku takut mati dengan sumpah serapah
manusia yang benci pada orang-orang di gedung
bertopi bundar itu.”
“Maya sayang, tak semua dari mereka itu jahat. Jika
aku di sana, kujamin aku bagian dari orang yang baik
itu. Percayalah.” Rayumu. Dan matanya yang indah
bak mata rajawali tangguh itu, selalu membuatku
luluh. Ah…

Kau membisu beberapa saat.
“Ayo jawab!”
Kemudian dengan suara serak kau berkata, “Maya sayang,
semua itu memang palsu. Aku mengaku pernah
bekerja di Fifi Pizza, padahal tidak. Semua kulakukan
karena aku memperoleh bayaran. Kau tahu ‘kan, aku
tak pernah memunyai uang berlebih untuk membiayai
pernikahan kita. Jika mereka membayarku,
uang itu akan kugunakan untuk meminangmu. Tak
apa ‘kan kalau aku menjadi saksi palsu?”
Ya, ini baru namanya absur. “Kau memang telah
terjangkit pernyataan Nietsche tentang absurditas.
Kau harusnya tahu bahwa di dalam menjalani hidup
ini manusia pasti menemukan kendala kontradiksi
dan kemustahilan. Sikapmu sudah mendorongamu
untuk bertingkah laku ke sudut yang paling ekstrem,
kau ingin moralitas yang adalah aspek utama Tuhan
harus dihancurkan. Dengan memalsukan semuanya,
sungguh aku malu bila menjadi istrimu,” cerocosku.
Kali ini kau benar-benar diam membisu agak lama.
Kau pastinya terkesima bahwa ‘si tolol’ ini, bisa
berkata seperti itu. Hei kekasih, tidak tahukah kau,
bahwa selama ini aku enggan berdebat dengan argumen-
argumen konyolmu yang bagiku sia-sia. Hidup
tak hanya diisi dengan argumen, namun harus diisi
dengan kerja dalam menghadapi realitas yang nyata.
“Dengar sayang, bila kau hanya pandai bercuap-cuap,
lalu memetik ungkapan-ungkapan filsafat dan ikut
gerombolan organisasi penghujat di sana-sini, apa
yang akan kaudapatkan? Bakar semua file-file palsu
itu. Aku tak mau menerima uang lamaran dari hasil
kolaborasi dan konspirasi untuk menjatuhkan orang
tak bersalah. Jika kau mau menjadi suamiku, ayo
kembali ke kampung halamanku, di sana tanah warisan
ayahku masih luas, kau bisa menggarapnya, tak
perlu kau membayar belis atau mas nikah yang ada
di sukuku. Cukup kau menjadi sosok yang rajin dan
kreatif. Itu saja!”
Beberapa bulan ke depan, mungkin kisah ini akan
kututup. Aku akan menikah dengan si ‘kekasih’ yang
dulunya sangat tergila-gila pada politik praktis itu.
Kali ini, uang lamaran yang ia serahkan bukan dari
hasil rekayasa menjadi saksi palsu, namun ia memperolehnya
dari hasil jual sapi miliknya yang dipelihara
oleh pembantu ayahnya di kampungnya, Soe, nun
jauh di NTT sana. Di hari pernikahanku, aku akan
mengenakan pakaian adat Rote, kampung asalku, di
ujung selatan NTT, lengkap dengan habas (hiasan
emas di leherku dan sirih pinang yang terletak di
atas nampan tembaga milik nenekku. Dan, lupakan
sejenak tentang iruk-pikuk Jakarta. Berita tentang
pernikahanku yang mungkin ada di beberapa surat
kabar daerah, sungguh itu bukan hoaks…
Image
TENTANG FANNY J POYK
Fanny lahir di Bima pada 18 November
dari pasangan Gerson Poyk dan Agustina
Antoneta Saba. Lulusan IISIP Jakarta
jurusan jurnalistik ini mulai menulis sejak
1977. Karya-karyanya berupa cerita
anak-anak, remaja, dan dewasa telah dimuat
di berbagai media, di antaranya Kompas,
Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos,
Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat,
Tribun Jabar,
Timor Ekspres,
dan lain-lain.
Satu di antaranya
cerpennya
terpilih sebagai
20 cerpen terbaik
Kompas dan terpilih
sebagai
10 cerpenis
terbaik Sabah Literary
International
Festival. Saat ini
dia aktif menulis
dan memberikan
pelatihan menulis
di dalam dan luar
negeri.

Redaksi

Saya Halimah Munawir.Halimah atau lebih populer dengan nama panggilan Halimah Munawir ini adalah seorang Penulis, Pebisnis dan Pegiat Seni dan Budaya . yang memiliki kepedulian tinggi kepada dunia literasi , tradisi seni budaya, dan pendidikan.

Obor Sastra

Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini

Obor Sastra

Sastra

Living

Entertainment