Latest Posts

Jl.Basuki Rahmat redaksi@semestaseni.com

Dan pada subuh
kutasbihkan savanamu
mengunci setiap rumput
hingga temu sebuah lorong
tempat kau menyimpan segala nasib
bergantung di akar rumput kuning.


Dan pada subuh
kutalbiskan setan bersavana
hening gigit resah bertanduk
resap pahit daun embun berklenyit
bertubi bertubir berturbin.


Dan pada subuh
kucium anus malam
bertandang segala kotoran di hidung
meraba masa jalan tegak.


Dan pada subuh
jarak dada dan lambung
terbelah situs bergelambir
lendir pandir benthir senthir.


Dan pada subuh
sudut mata mengekor rintih kabut
dosa tertumpuk sela gerigi mata
angka terganjal dua mata
berharap luruh dengan istighfar.


Dan pada subuh
Angin hitam menggigit tulang
Bumi kurus melipat diri
Gunung santun berdehem gemas
Laut tidur mengigau napas akhir


Dan pada subuh
Langit berangan bumi hijau
Bumi bermimpi langit biru
Hijau dan biru mitos yang ragu


Tulungagung, 2021

Jose Rizal Manua
IBU ADALAH MATA AIR
Ibu adalah fajar
yang membuat aku selalu gemar belajar
Ibu adalah pawana
yang senantiasa menyejukkan jiwa-raga
Ibu adalah pelangi
yang warna-warni berpendar di sanubari
Ibu adalah senja
yang membuat aku selalu waspada
Ibu adalah mata air
yang membuat aku hadir dan mengalir
Ibu adalah doa
yang membuat aku bermunajat padanya
Jakarta, 28 Mei 2016

setiap saat
aku adalah 20% oksigen
yang disumbangkan
pohon rindang surga
bernama ibu


terkadang
aku adalah lembayung
yang dipantulkan senja
kepada luas samudera
bernama ibu


anganku
menjadi kemerdekaan
pikiran dan jiwa
yang dicontohkan cakrawala
bernama ibu
sampai masa


aku menjadi keindahan
lukisan dan kata-kata
karya sang seniman
bernama ibu


ibu,
kau!


2021

Kata seorang yang dekat padaku
Kesunyian ialah mata yang melihat
Segalanya lalu kata seorang yang
Kerap terkhianati ia hanya lampiasan
Luka yang sering membawa biji gerimis
Basah mengencani bumi tandus


Itulah cinta kata sang penyair ketika
Kau siap memasang harap pada yang lain
Maka kemaskan dirimu untuk tersayat
sayat sebab cinta hanyalah beling yang
tinggal menunggu waktu menancap


Teduh yang kuberikan tidak akan ku tagih
kembali sebab aku adalah ranting-ranting
Kata yang akan terus hidup meski berkali
Kali layu di pelataran gersang


Aku telah mengimani segenap sakit yang
merambat sebagai persembahan istimewanya
Maka kau akan ku dandan dengan jelita bak
dwi-dwi luka yang akan lupa tertawa lagi setelah
perayaan kita selesai kelak


Aku adalah sang pengarang yang tak
Akan karam dalam dialog-dialog fragmen
yang kau perah sebagaimana yang kau sangka
diksi-diksi ku masih hidup pun aku selalu bernapas
arena layaknya teatrikal manusia penuh dusta kau
pun akan nestapa


Maka izinkan aku terus berjenaka sambil membelai
kelopak
hati yang kau rawat yang pada akhirnya berguguran
retak berserakan
saat purnama bergelayut aku hanya melunasi sisa-sisa
bait yang


Engkau campakkan di kaki serapah tunggulah akan
ku bawa kau berkelana
sejauh-mana yang kau suka dan ku regas satu demi
satu dedaunan asah yang
kau pelihara dari tubuh akarnya kala itu tiba senja
pun tak mampu kau ratapi lagi


sebab ia telah berubah nanah akut menjalar ke
seluruh atmosfer yang kau nikmati
tunggu sakrattul ku di pucuk
napas terakhirmu!!


Waiwerang, 27 Oktober 2021

Obor Sastra

Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini

Obor Sastra

Sastra

Living

Entertainment