Latest Posts

Jl.Basuki Rahmat redaksi@semestaseni.com

Jose Rizal Manua Baca Puisi di Bandung

SELASA, 24 Januari 1995, Kota Bandung yang dingin, mendadak hangat. Gelanggang Olahraga Saparua Bandung bergemuruh, 3.500 penonton antusias menunggu si “Burung Merak”, malam itu WS Rendra dijadwalkan tampil membacakan
puisi.

Duabelas karya puisi Rendra disiapkan panitia malam itu, namun ternyata empat judul puisi tidak diperbolehkan untuk dibacakan, padahal Rendra sudah hadir dan naik mimbar.

Si Burung Merak meradang dan memutuskan untuk menolak membacakan puisi. “Hadirin sekalian, warga Bandung yang saya hormati, saya merasa bangga mendapat kehormatan diundang membacakan sajak memeriahkan acara ini,” ungkapnya yang disambut tepukan meriah dan histeris penonton.
“Saya berniat membacakan sajak berjudul Doa, disusul dengan Tokek dan Adipati Rangkasbitung, ketiga, Untuk Orang-orang Rangkasbitung, tapi sayang sekali saya tidak mendapat izin untuk membacakan tiga sajak pertama.”

Teriakan riuh penonton, ungkapan ketidakpuasan bergemuruh. Rendra harus berkali-kali memohon
penonton untuk tenang, “Ini namanya kenyataan kekuasaan politik.” Penonton yang di depan
meneriakkan “demokrasi”, “minbar bebas”, dan bermacam cemooh. “Saya bukan orang politik, saya tak punya kekuatan politik, saya rakyat, tapi punya kekuatan moral.” Riuh tepuk tangan bergema mendukung pernyataan Rendra, “dan malam ini, saya akan mempergunakan kekuasaan moral dengan
menolak membacakan sajak sama sekali,” dengan suara yang kian meninggi. “Saya tidak mau diremehkan kekuatan politik.” Suasana semakin gemuruh, emosi penonton makin tinggi, karena merasa dizhalimi oleh kekuasaan.

Pada 15 Januari 1995 Rendra juga membacakan sajak-sajak tersebut di Surabaya, dan tidak menimbulkan masalah apa-apa. Karena pada dasarnya sajak-sajak tersebut tidak menyalahi undang-undang maupun konstitusi, justru sajak-sajak itu dibuat karena Rendra menghayati sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Dalam suasana emosional yang menyelimuti GOR
Saparua, Si Burung Merak mengajak hadirin untuk berdoa:

Ya Allah, ya Tuhanku
Yang Mahakuasa, Yang Maha Esa.
Yang menguasai rezeki umat, Yang menguasai
perjodohan umat manusia.
Tunjukkanlah ke jalan kami yang benar, dan bukan jalan
yang ditempuh orang-orang yang zhalim.
Bait terakhir doa itu berbunyi:
Ya Allah, Ya Tuhanku


Aku mendengar suara jerit makhluk yang terluka,
ada orang memanah rembulan, ada anak burung jatuh
dari sarangnya, orang-orang harus
dibangunkan, kesaksian harus diberikan, agar
kehidupan bisa terjaga.
Lindungilah kami ya Allah, Aamiin,
Ya Robbal Aalamiin..

Selesai membaca doa, Rendra memberi salam dan
berlari kecil meninggalkan panggung. Suasana riuh kembali merebak, tepuk tangan dan sorak-sorai penonton bergemuruh. Di tengah suasana itu, Jose Rizal Manua yang sejak awal mendampingi Rendra, tiba-tiba membacakan puisi, tanpa kata pengantar, Jose mulai membaca puisinya, Perdamaian adalah puisi pertama yang dipilih Jose. Uniknya Jose
membacakan dengan lantunan irama Kasidah, yang membuat penonton tersenyum-senyum, dan mulai terpancing untuk menyimak gaya Jose baca puisinya yang “jenaka”, sebagian penonton yang berniat meninggalkan GOR, mulai duduk kembali.

Kita simak sebagian syair Perdamaian:

perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian
rumah kumuh dirubuhkan
rumah mewah didirikan
anak sakit diobati
anak sehat ditempelengi
perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian
kredit bocor didiamkan
kredit macet diributkan
perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian
kebo kumpul di kubangan
kumpul kebo di kontrakan

Dengan gayanya yang khas, Jose berhasil mengobati hati penonton yang kecewa karena gagal tampilnya Rendra membacakan puisi-puisinya, karena Rendra menolak membaca akibat pelarangan sepihak oleh pihak berwenang. Jose, dengan gayanya yang santai, nyeleneh dan puisi-puisi humor memikat yang sarat kritik dan bernas, membuat suasana menjadi lebih sejuk, dan mampu meredam suasana emosi yang menghinggapi dada para penonton, sehingga mereka larut dalam puisi-puisi Jose. Sebelum Rendra dan Jose, pesyair Sutardji Calzoum Bachri lebih dulu tampil membacakan beberapa puisi- puisinya. Sutardji dengan gaya aktraktifnya, membacakan Berdarah, Tapi, Taman, Tanah Airmata, diakhiri dengan Jembatan. Puisi-puisinya ini merupakan karya yang ditulis antara 1992 dan 1993.

Saparua kembali senyap, dingin menjalari Bandung, namun puisi-puisi akan selalu berkibar, sajak-sajak akan terus dilahirkan.

 

Ossie Helmi - Sumber: JRM

Redaksi

Saya Halimah Munawir.Halimah atau lebih populer dengan nama panggilan Halimah Munawir ini adalah seorang Penulis, Pebisnis dan Pegiat Seni dan Budaya . yang memiliki kepedulian tinggi kepada dunia literasi , tradisi seni budaya, dan pendidikan.

Obor Sastra

Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini

Obor Sastra

Sastra

Living

Entertainment