Latest Posts

Jl.Basuki Rahmat redaksi@semestaseni.com

Potensi dalam Diri Perempuan Peseni

Ekspresi dalam dunia seni sejatinya mencerminkan kesetaraan. Lelaki-perempuan bukanlah polaritas melainkan semata-mata perbedaan yang semestinya bermuara pada kekayaan dalam keragaman karya. Di dunia yang bahkan sejak sebelum manusia ada sudah selalu diklaim sebagai milik para pejantan, ini segala sesuatunya memang selalu berangkat dari sudut pandang maskulin, tak terkecuali ekspresi dalam seni.

Manusia sebagai makhluk berakal budi, tanpa memandang jenis kelamin maupun orientasi seksualnya, diperlengkapi dengan kebutuhan aktualisasi diri yang dicapai melalui berekspresi. Ekspresi paling hakiki manusia yang membedakannya dari makhluk lain adalah seni. Selama kurun waktu yang sangat panjang, peradaban bergerak dengan berat sebelah pada dominasi lelaki dalam setiap langkah pergerakannya, termasuk dalam bidang seni. Perempuan yang fakta fisiknya tak sekuat dan sebesar lelaki, serta-merta mengalami pemukulrataan; dianggap tak kuat dan tak besar dalam segala hal.

Peradaban memang terus berkembang dan seiring perkembangan tersebut, perempuan berangsur meraih kesetaraan dengan lelaki dalam segala bidang. Namun bahkan sekian lama setelah perempuan bebas berekspresipun, mayoritas karya seni yang mendapatkan apresiasi tertinggi masih tetap pada hasil karya lelaki. Padahal pelukispelukis pertama dalam catatan prasejarah adalah para perempuan.
Arkeolog Dean Snow dari Pennsylvania State University yang meneliti 8 gua purba di Spanyol dan Prancis menyimpulkan bahwa 75 persen
dari seluruh lukisan dan gambar tangan di situ adalah hasil karya perempuan.

Bicara kekuatan seni perempuan, sejak zaman Renaisans sudah banyak tampil perempuan perupa dengan karya-karya besar mulai dari
Caterina van Hemessen, Sofonisba Anguissola, Louise Élisabeth Vigée Le Brun, Artemisia Gentileschi, Harriet Powers, Mary Cassatt, Luisa Roldan, sampai Augusta Savage, Frida Kahlo, dan Yayoi Kusama. Banyak yang berkata abad 21 adalah milik perempuan, meski mungkin
memang masih perlu waktu bagi peradaban untuk bisa berlaku lebih adil kepada perempuan dengan pergeseran paradigma keindahan yang jadi tolok ukur mutu hasil karya seni. Kekuatan seni di diri perempuan peseni bukan keniscayaan melainkan sudah sejak lama terpampang di depan mata. Seni memang tidak cuma bicara soal sifat-sifat keras, kuat, dan besar yang selama ini identik dengan kelelakian. Ditilik dari sudut kesenian, setiap kata sifat, bahkan yang bertolak belakang dengan
keras, kuat, dan besar--lembut, rapuh, lemah, dan lain-lain--punya kekuatan.

Ritmanto Saleh
Redaktur Pelaksana

Redaksi

Saya Halimah Munawir.Halimah atau lebih populer dengan nama panggilan Halimah Munawir ini adalah seorang Penulis, Pebisnis dan Pegiat Seni dan Budaya . yang memiliki kepedulian tinggi kepada dunia literasi , tradisi seni budaya, dan pendidikan.

Obor Sastra

Redaksi menerima naskah, foto, dan informasi yang berkaitan dengan seni-budaya. Naskah, foto, dan informasi tersebut akan disunting sesuai dengan misi-visi penerbitan ini

Obor Sastra

Sastra

Living

Entertainment